Ulasan Film Leher Angsa : Mengawinkan Teori dan Praktik

Ulasan Film Leher Angsa :

Mengawinkan Teori dan Praktik

Oleh : Gita Octav

 

Hal yang paling menakutkan ialah ketika sejarah hanya dihafal lalu manusianya tak kunjung hafal. Ditambah konsekuensinya mendapat nilai nol efek dari pendangkalan nalar. Pilihan jawaban antara a, b, c, d atau e. Sekalinya mendapati soal esai, manusianya kebingungan, ‘’rasa” takut salah begitu menghantui pikiran. Ketika dilontarkan pertanyaan “ada yang mau bertanya?” seringkali tak berbalas. Asumsinya beragam. Bisa karena tidak ada aksi reaksi yang mengasyikkan sehingga anak didik tidak terpicu untuk bertanya atau anak didiknya terlampau paham namun ada kemungkinan sebaliknya. Sesekali, perlu merombak metodenya, metode penyampaiannya.

Film Leher Angsa mengisahkan sebuah bangunan pengetahuan yang terdiri atas teori dan praktik yang timpang. Ketika teori dan praktik tidak berjalan beriringan, maka teori ibarat masuk telinga kanan lalu keluar telinga kiri. Teori seakan terpisah dari realita, padahal teori itu dibangun atas realita.

Aswin, menjadi subjek yang merepresentasikan bagaimana esensi pendidikan ditanamkan dan diimplementasikan. Bagaimana Aswin menggabungkan antara teori dan praktik dalam kesehariannya. Membaca menjadi kunci terbukanya wawasan, ketika kesempatan membaca buku di perpustakaan sekolah terbuka lebar, Aswin melahapnya habis. Beberapa bukunya pun dibaca ulang hingga tiga kali. Saat berjalan dipinggir selokan mendapati tulisan koran, secara otomatis dirinya mengasosiasikannya dengan pihak bersangkutan. Dengan membaca juga, dia semakin mengerti alasan tempe tidak terhidangkan pada pagi itu.

Perihal relasi pertemanan, hari itu Guru membacakan surat izin sakit Sapar. Satu kelas serentak menjawab “YA” ketika dianjurkan untuk menjenguk Sapar, namun hanya Aswin yang betul-betul melaksanakan. Dalam perjalanan, dia tak mendapati teman yang menemaninya menjenguk Sapar. Sebelum tiba di tempat tujuan, saat dia menemani Najib makan siangpun, berbohong menjadi jalan ninjanya untuk memperoleh ikan asin. Lagi-lagi, bukan untuk memenuhi kebutuhan perutnya sendiri. Aswin melihat peluang untuk membahagiakan Sapar dengan membawakannya ikan.

Perihal mengawinkan teori dan praktik, pengetahuan Aswin tentang fungsi toilet leher angsa didapatkan dari ruang kelas. Ketika guru bertanya siapa yang memiliki toilet serupa dalam rumahnya, tidak ada tangan yang terangkat. Sang Guru menyadari bahwa teori tanpa praktik adalah nihil. Tetiba Aswin mengangkat tangan karena mengetahui bahwa satu-satunya pemilik toilet leher angsa adalah kepala desa. Pengetahuannya membawa teman-temannya berani menghalau larangan dari kepala desa untuk melihat toiletnya sebab alasan prosedural. Meskipun pada akhirnya, tidak semua anak bisa melihat toilet leher angsa karena dengan cepat kepala desa memergoki mereka.

Toilet leher angsa yang dianggap solusi agar penyakit bisul tak lagi berdatangan sebab buang air di sungai, bisa diwujudkannya dengan mengelaborasi pemahamannya terkait fungsi toilet leher angsa, melihat secara langsung bentuknya dan mengusulkannya pada orang dewasa yang dianggap lebih bisa mengeksekusikannya. Alhasil, toilet leher angsa bisa dibangun dan dinikmati oleh masyarakat sekitar.

Film ini seolah mengajak penonton merefleksikan bagaimana pendidikan yang selama ini telah berjalan. Apakah telah direstui perkawinan antara teori dan praktik? Bahwa guru dan anak-anak selama ini tidak merdeka dalam mengajar dan belajar. Ada hambatan secara prosedural yang mencegah perkawinannya. Padahal lihat saja bagaimana Aswin menjadi subjek yang bisa mengelaborasi pengetahuan, pengalaman dan solusi bagi lingkungan sekitarnya. Aswin hanya satu analogi untuk menggambarkan bagaimana sistem pendidikan seharusnya berjalan.

Ironis, ketika sebuah lembaga berdiri di atas kurikulumnya sendiri, anak didiknya dihantui dengan bayangan masa depan. Gurunya dihantui dengan bayangan administratif agar sekolahnya bertahan seperti halnya sekolah pada umumnya. Berada diantara pilihan berkompetisi di perusahaan-perusahaan atau hanya jadi pengangguran, pilihan berijazah formal atau menyandang hidup tanpa status tinggi dan bayaran. Mau tidak mau... Lembaga inipun harus melengkapi prasyarat administratif agar menjadi sama dengan kriteria sekolah lainnya, agar anak didiknya memiliki prasyarat formal melalui ujian lalu mendapati gelar. 

Hal lainnya (lagi) yang menakutkan adalah ketika orang miskin akan tetap menjadi miskin meskipun dia memiliki kompetensi jauh melebihi orang bersematkan gelar legal, lantaran tidak memiliki kualifikasi formal.

#ulasanfilmkemdikbud @kemdikbud.ri @budayasaya @pusbangfilm

Komentar

  1. Seperti seorang gito yang berbicara di depanku. Tulisan membawa pikir dan rasa. Good job

    BalasHapus
    Balasan
    1. "gito" merupakan panggilan khas anak Jabal Rahmah dan dek Daffa terpengaruh untuk memanggilku dengan sebutan yang sama. Huft. Siapa lagi kalau bukan Layyina.. wkwk

      Hapus

Posting Komentar