Bahagia itu Sulit
1 Maret 2016 bincang Pagi bersama Umi

Bahagia itu sulit

A: Apa sih esensi dari kita memoles bibir dengan lipstik? (berbicara masalah wisuda, atau pernikahan)
Z: Karena moment terakhir ketika saat bertemu teman, sehingga harus tampil maksimal.(dalam konteks wisuda). Berbeda halnya dengan konteks pernikahan, pernikahan kan sekali seumur hidup, jadi untuk bertemu dengan calon suaminya harus maksimal juga.
A: emangnya tidak boleh ya kalau wisuda itu tidak dandan? Emangnya tidak boleh ya kalau pernikahan tidak bedakan? Itu kan kita mengikuti tradisi barat yang sifatnya ceremonial, tidak dianjurkan juga dalam islam. Kalau pas wisuda terus kita mati, lalu apa yang ingin dibanggakan? Ketika kita mati dalam naungan Alloh SWT itu baru baik. Wisuda bukannya malah resah ya seharusnya? Karena kita bersegera memikirkan kehidupan setelah menempuh perjalanan kuliah. Senengnya itu pas foto bareng temen doang kan ya? Habis itu temen kamu mungkin membantu, mungkin tidak dalam perjalanan ke depan dalam kehidupanmu. Esensi dari wisuda adalah berkah ilmunya, ilmu yang didapat selama perkuliahan bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, dan bisa berkontribusi pada masyarakat. Sehingga bahagia tidak hanya saat detik kita berfoto dengan teman, tetapi konsep bahagiia dalam diri yaitu, bisa manfaat ilmunya untuk umat.

Konsep yang mainstream adalah “bahagia itu sederhana loh, sesederhana kita membuat orang lain tersenyum. Tetapi tidak, bahagia itu cukup rumit untuk orang yang takut akan kebahagiaan tanpa esensi. Yang kita pandang bahwa pernikahan adalah sebuah masa transisi yang membahagiakan. Membahagiakan saat apa? saat hari pernikahan dan di awal tahun saja kan? Pernikahan akan terus berlanjut seiring bersamaan dengan waktu sampai di hari tua. Jadi jangan terlena dengan pernikahan itu bahagia semuanya. Karena sejatinya kita ditunggu kontribusinya untuk Alloh SWT dan agama kita. Bagaimana cara agar selalu ada regenerasi dari tokoh umat, agar agama masih bertahan sampai akhir zaman. Ingat ! tidak perlu memajang foto mesra pernikahan di publik, karena memang tidak perlu. Apa coba yang didapatkan dari memajang foto mesra itu? Memotivasi orang lain agar cepat nikah? Atau dapat like banyak? Hanya itu saja kah? Itu bukan memotivasi namanya, tetapi membuat orang lain iri, itu namanya membuat orang lain memiliki sifat tercela bukan? Dilema karena zaman media begitu massif di Indonesia. Media menjadi pemegang kuasa, semua orang bisa menyebarkan kebahagiaannya di berbagai media, semua orang bisa mengakses. 
Bahagia terkonstruksi, kebahagiaan orang-orang menengah ke bawah tergantung bagaimana pemerintah mengatur sistem ekonomi yang baik dan menyejahterakan masyarakat. kebahagiaan seperti apa yang dimaksud sehingga bahagia itu sulit? bahagia yang tidak sekedar bahagia untuk diri sendiri, melainkan kita bisa berkontribusi untuk masyarakat luas.
Kontribusimu ditunggu ya Gita, terbesit sebuah pertanyaan “apakah itu hanya idealisme yang akan runtuh dengan realisme”, apakah juga kita akan sekaku itu dikemudian hari? Sebenarnya maksud dari nasihat di atas bisa jadi karena ingin melihat seberapa jauh penanaman nilai keislaman dalam diri kita, atau penggiringan idealisme baru agar kita tidak terlalu mencontoh kebiasaan barat yang berlebihan? Karena bahagia terencana..

Komentar